Rabu, 03 Juni 2015

    Sebutan universal untuk Brahmana tanpa memandang asal keturunannya, khususnya yang dari Bali sebutannya bermacam-macam, yaitu : Pedanda, Mpu, Shri Mpu, Bhagawan, Rsi, dan Bhujangga. Umat Jawa lebih senang menyebut Pandita dengan sebutan ”Romo”. Di India sendiri yang umum sebutannya Rsi dan Maha Rsi, walaupun sering kita dengar sebutan orang suci dengan Baba, Maharaj, Pandit, dll. Pada masa Majapahit menguasai Jawa Timur dimana sekitar tahun 1350 menempatkan wakil raja (Adipati) di Bali yang disebut ”Dalem” yang pertama Dalem Kresna Kepakisan. Pada waktu ini telah berakhir kekuasaan raja-raja Warmadewa sebelumnya. Pada masa Warmadewa (Raja Udayana dan keturunannya) sampai kepada Dalem, Pandita kerajaan adalah Panca Tirta dan keturunannya seperti Sapta Pandita, juga Purohita dari keluarga Bhujangga. Dalem juga keturunan Panca Tirta karena Ayah Dalem adalah

Mpu Soma Kepakisan yang adalah keturunan (cucu) Mpu Bharada terkecil dari Panca Tirta. Para Mpu dan Bhujangga ini selalu menjadi rohaniawan kerajaan, sebutan yang umum untuk mereka dimasa itu adalah MPU.

       Fase penting lainnya adalah menjelang runtuhnya majapahit (Abad XV) karena masuknya Islam di Majapahit, pada tahun 1489 Mpu Nirartha (yang kemudian dikenal dengan Danghyang Nirartha atau Pedanda Sakti Wau Rauh), datang ke Bali dan singkat cerita menjadi Rohaniawan kerajaan yang waktu itu dipimpin Dalem Waturenggong/Baturenggong. Sejak itu peran para Mpu keturunan Sapta Pandita dan Bhujangga digantikan oleh Mpu Nirartha dan keturunannya. Setelah jaman kemerdekaan dan sesudahnya, maka Pandita sudah tidak monopoli lagi oleh keturunan Mpu Nirarta karena disamping leluhur sebagian besar orang Bali adalah Pandita, maka ajaran Catur Warna juga menguatkan, bahwa sesuai Guna (bakat/gen) dan Karma (lakunya), maka siapapun berhak menjadi Pandita, namun untuk di Bali tidak mudah aplikasinya karena Pandita yang seharusnya sudah bebas dari ikatan Soroh/Clan masih dikotakkan minimal dari Abhisekanya, seperti keturunan Ida Bagus kalau menjadi Pandita disebut ”Pedanda” (Danda=Tongkat), keturunan Dalem jika menjadi Pandita disebut ”Bhagawan”, I Gusti menjadi ”Rsi, dan diluar itu Mpu (untuk Pasek), Sire Mpu (untuk Pande), dan Bhujangga, kedepan kita perlu menyadari, bahwa mereka semua adalah sama-sama Pandita yang bisa diminta Muput.

        Mpu, Bhagawan, Rsi, Bhujangga, Dukuh, adalah nama Rohaniawan yang sejak lama dikenal di Nusantara, Pedanda hanya dikenal di Bali yaitu dari keturunan Mpu Nirartha. Agar umat tidak bingung, maka sebut saja semua Brahmana ini dengan sebutan ”Pandita”, ini adalah sebutan yang universal. Jika sedang menghadap (Tangkil) sebut saja ”Nak Lingsir” untuk Pandita dari Bali, ini adalah bahasa penghormatan yang mencerminkan ”kedekatan” antara umat dengan Sang Brahmana, karena prinsif ”Jun ngalih pancuran (Jun/tempat air- mencari mata air) harus dijadikan pegangan bagi umat untuk meningkatkan kesadaran rohani. Dari sisi ciri-ciri Pandita, disamping Me-prucut, maka biasanya bawa tongkat yang panjangnya kalau beliau berdiri sampai sekitar pusar, kalau duduk tongkat tersebut sama dengan tinggi beliau. Setingkat dibawah Pandita adalah ”Jro Gede” yang sekarang diganti sebut menjadi ”Jro Bhawati /Ida Bhawati (Bhawa=perut/rahim/belum lahir jadi Brahmana)”. Rambut beliau juga panjang cuma tidak diikat diatas kepala (ubun-ubun) tetapi dibelakang. Satu tingkat dibawah Ida Bhawati adalah ”Pemangku (sebutan untuk umat Bali), Wasi (umat Jawa) dan bahasa universal adalah ”Pinandita” yang berada pada tingkat ”Eka-Jati”. Menurut ageman Ke-Pemangkuan untuk rambut sebenarnya ditentukan ”Panjang” namun dijaman moderen ini Para Pinandita kebanyakan tidak berambut panjang, tentunya ini sudah dipertimbangakan oleh Pinandita tersebut atau Para Pandita dengan dasar sastra yang benar.

          Pemaparan singkat tentang Pandita tujuannya agar umat tidak bingung atau takut-takut ketika akan melaksanakan Pitra Yadnya dan kemana harus tangkil, jadi pertama carilah Pandita yang dikenal dan merasa cocok karena factor atmanastuti (keneh/kecocokan hati) sangat penting untuk suksesnya suatu upacara yadnya, bisa tangkil ke Pedanda, Mpu, Rsi, Bhagawan, Bhujangga, dan Dukuh karena semuanya punya wewenang yang sama untuk muput Pitra Yadnya. Jadi sejatinya keberadaan Pandita bukan untuk soroh tertentu, mereka adalah Pendeta Hindu yang memiliki kewenangan sama dalam melaksanakan Lokha Pala Sraya.
Terkait dengan kepanditaan ini, di masyarakat Bali sendiri masih sering terdengar istilah Pedanda Jaba. Untuk itu menarik kiranya diangkat sebagai bahan pertimbanga.
         
        Pada tahun 1999 Bhagawan Dwija menanyakan kepada Nabenya Ida Pandita Mpu Nabe Manik Dwija Kertha (Seririt) tentang kenapa beliau disebut oleh orang dengan sebutan “Pedanda Jaba”, belum lama ini (2004) penulis juga diceritrakan oleh Sulinggih Mpu, bahwa warga didesanya (tidak seluruhnya) menyebut beliau “Pedanda Jaba” . Jawaban yang diperoleh dari kedua Sulinggih tersebut atas pertanyaan ini adalah sama, yaitu : Biar saja yang disebut Jaba khan Pedanda !, sebuah jawaban yang diplomatis tetapi mengandung makna kestabilan emosi yang tinggi. Kurun waktu 5 tahun (1999-2004) adalah waktu yang cukup lama berarti sekian tahun itu tidak banyak kemajuan pada umat tentang pengertian Sulinggih, Sadhaka, atau Brahmana. Kenapa itu bisa terjadi ?.

       Jika menyimak fenomena dimasyarakat, istilah Pedanda Jaba masih banyak diucapkan oleh umat dipedesaan yang sangat sederhana cara berpikirnya, lugu, dan masih kental sitem feodal masyarakatnya. Mereka bukan bermaksud menghina Para Sulinggih Mpu tetapi karena mereka tidak tahu. Ketidak tahuan itu bisa dimaklumi karena keadaan itu sudah berlangsung ratusan tahun dimana yang mereka tahu Sulinggih itu adalah Pedanda dari soroh tertentu. Adalah sejak abad 15 di Bali terjadi pembagian porsi umat yang dimana Sulinggih (Brahmana) diambil porsinya oleh Danghyang Nirarta dan keturunannya yang dari sini menurunkan Pedanda secara turun temurun, porsi Ksatrya diambil oleh Dalem (Anak Agung), Wesya oleh Para Arya (I Gusti), dan diluar itu Sudra. Diluar Sudra disebut juga Tri Wangsa sedangkan Sudra ini dikenal di Bali dengan sebutan Jaba.
Itulah sebabnya warga yang sejak abad 16 dipisah menjadi sistem Kasta oleh Kolonial hanya tahu, bahwa Sulinggih itu adalah Pedanda sehingga jika ada umat dari Soroh lain menjadi Sulinggih berarti bukan keturunan Brahmana tetapi keturunan Jaba sehingga Sulinggih itu disebut Pedanda Jaba. Istilah Jaba ini adalah produk politis abad 16 yang masih terbawa sampai sekarang. Istilah Jaba ini banyak diarahkan kepada Soroh Pasek karena memang setelah Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel tidak lagi menjadi Raja Bali kemudian digantikan oleh Dalem sebagai wakil Raja di Jawa, maka kedudukan terhormat itu sudah tidak ada. Lebih-lebih lagi tidak banyak yang meneruskan laku leluhurnya yaitu Mpu Gnijaya yang tertua dari Panca Tirta menjadi Mpu, malah rohaniawan dari keturunan Mpu Gnijaya (Warga Pasek) diberi sebutan “Dukuh” . Sehubungan dengan waktu Dalem menjadi wakil Raja di Bali penduduk Bali dan Wong Bali Mula (Warga Kayu Selem) hanya tunduk kepada Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel ,maka Warga Pasek masih dibutuhkan menjadi Bendesa (Banda=Pengikat Desa=Tempat) yang tersebar diseluruh Bali. Ada juga keturunan yang menjadi Patih di Gelgel sehingga bergelar I Gusti, tetapi lama kelamaan yang menduduki jabatan semakin berkurang dan banyak yang hanya menjadi Petani atau abdi inilah yang mendapat porsi “Jaba” tadi dan mendapat perlakuan berbeda dalam hal Pitra Yadnya (Ngaben) dan cara berbicara (Saur singgih).
Turunnya strata sosial Warga Pasek waktu itu disamping karena hal politis bisa jadi adalah karena melanggar bhisama Bhatara Kawitan dimana para sentana diharuskan menjalankan Sasana Kawitan yang adalah Brahmana Jati dan tidak melupakan Parahyangan Leluhur dan saudara Warga Pasek lainnya. Umat yang menyimpang ini sekarang tenar dengan sebutan “Pasek Paling”. Kemudian untuk kembali kepada petunjuk Bhatara Kawitan (Back to Bhisama) maka selalu diminta kepada Warga Pasek untuk menjadi “Paling Pasek (Pasek=Patitis Sesana Kawitan). Sehubungan dengan Warga Pasek jumlahnya sangat besar di Bali (mungkin diatas 50%), maka Pasek Paling ini juga sangat banyak, bisa jadi mereka inilah yang termasuk menyebut Sulinggih Mpu dengan sebutan Pedanda Jaba dimana sebenarnya merupakan satu leluhur dengan mereka.

        Adalah sangat bijak Sulinggih Mpu untuk tidak menjelaskan kepada umat bahwa beliau bukan Pedanda Jaba, karena jika Sulinggih Mpu menjelaskan, maka akan dikatakan meninggikan diri atau membicarakan tinggi-rendah. Yang paling tepat untuk menyampaikan ini kepada umat yang masih belum mengerti itu adalah “Para Pedanda”. Para Pedanda yang adalah juga Brahmana dimana hidupnya hanya memuja kebesaran Hyang Widhi melalui palayanan kepada umat, harus terlibat juga pada meluruskan yang salah terhadap persepsi masyarakat dengan munculnya istilah Pedanda Jaba. Tetapi waktu 5 tahun ini yang terpendek dimana sebenarnya sudah berjalan lebih dari itu, penulis masih mendengar terjadi sebutan Pedanda Jaba, ini berarti belum ada kemajuan yang berarti. Apakah ini karena warga yang masih belum mengerti atau tidak mau mengerti atau fihak yang tahu sengaja tidak menjelaskan karena factor prestise yang bisa hilang, atau karena apa, mari kita cari bersama-sama. Yang penting bagi kita adalah sudah waktunya menegakkan Ajaran Hindu yang benar di Bali yang akhir-akhir ini dalam kasus Kaset Iwan Fals didengungkan lagi ajakan introspeksi kedalam, sudah waktunya kita tidak melakukan pembodohan atau menjadi tinggi atau terhormat diatas kebodohan orang lain, karena ukuran terhormat bagi kita adalah jika menghormati orang lain lebih-lebih bisa membuat orang lain menjadi terhormat.
Akhir kata penulis mengajak kepada umat yang masih memakai istilah Pedanda Jaba agar belajar lagi akan hakekat diri sendiri, leluhur, dan Hyang Widhi sehingga dapat menyebut sesuatu itu dengan benar, dengan demikian umat secara bertahap sudah meningkatkan dirinya sendiri menjadi Pemuja Hyang Widhi, bhakti pada Leluhur, hormat pada sesama bukan sebagai penyembah/ abdi karena hanya Hyang Widhi yang patut disembah, siapa tahu atas asung wara nugraha Hyang Widhi dan Bhatara Kawitan maka pintu peningkatan kehormatan diri dibukakan dan di kemudian hari sudah tidak ada lagi sebutan Pedanda Jaba.

dikutip : http://mgpssrklungkung.or.id
Disusun oleh : Semeton Pasek Dangka | Suksma sampun rauh ring Situs puniki , Dumadak Rahayu